Dari Abu Musa Al-Asy’ariy radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَة
“Permisalan teman duduk yang shalih dan buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi. Adapun penjual minyak wangi, bisa jadi ia akan memberimu minyak wangi, atau kamu akan membeli darinya atau kamu akan mendapat bau harum darinya. Adapun tukang pandai besi, bisa jadi ia akan membuat pakaianmu terbakar, atau kamu akan mendapat bau yang tidak sedap darinya.” (HR. Bukhari No. 2101, Muslim No. 2628)
Wahai saudariku, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepada kita agar senantiasa memilih teman-teman yang shalih dan waspada dari teman-teman yang buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh dengan dua permisalan ini dalam rangka menjelaskan bahwa seorang teman yang shalih akan memberikan manfaat bagi kita di setiap saat kita bersamanya. Sebagaimana penjual minyak wangi yang akan memberikan manfaat bagi kita, berupa pemberian minyak wangi, atau minimal jika kita duduk bersamanya, kita akan mencium bau wangi.
Manfaat Berteman dengan Orang yang Shalih
Berteman dengan teman yang shalih, duduk-duduk bersamanya, bergaul dengannya, mempunyai keutamaan yang lebih banyak dari pada keutamaan duduk dengan penjual minyak wangi. Karena duduk dengan orang shalih bisa jadi dia akan mengajari kita sesuatu yang bermanfaat untuk agama dan dunia kita serta memberikan nashihat-nashihat yang bermanfaat bagi kita. Atau dia akan memberikan peringatan kepada kita agar menghindari perkara-perkara yang membahayakan kita.
Teman yang shalih senantiasa mendorong kita untuk melakukan ketaatan kepada Allah, berbakti kepada orang tua, menyambung tali silaturrahim, dan mengajak kita untuk senantiasa berakhlak mulia, baik dengan perkataannya, perbuatannya, ataupun dengan sikapnya. Sesungguhnya seseorang akan mengikuti sahabat atau teman duduknya, dalam hal tabiat dan perilaku. Keduanya saling terikat satu sama lain dalam kebaikan ataupun yang sebaliknya. (Bahjah Quluubil Abrar, 119)
Jika kita tidak mendapat manfaat di atas, minimal masih ada manfaat yang bisa kita peroleh ketika berteman dengan orang yang shalih, yaitu kita akan tercegah dari perbuatan-perbuatan jelek dan maksiat. Teman yang shalih akan selalu menjaga persahabatan, senantiasa mengajak berlomba-lomba dalam kebaikan, berusaha menghilangkan keburukan. Dia juga akan menjaga rahasia kita, baik ketika kita bersamanya maupun tidak. Dia akan memberikan manfaat kepada kita berupa kecintaannya dan doanya pada kita, baik kita masih hidup maupun setelah mati.(Bahjatu Quluubil Abrar, 119)
Wahai saudariku, sungguh manfaat berteman dengan orang yang shalih tidak terhitung banyaknya. Dan begitulah seseorang, akan dinilai sesuai dengan siapakah yang menjadi teman dekatnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
المرء على دين خليله فلينظر أحدكم من يخالل
“Seseorang itu menurut agama teman dekatnya, maka hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Bahaya Teman yang Buruk
Jika berteman dengan orang yang shalih dapat memberikan manfaat yang sangat banyak, maka berteman dengan teman yang buruk memberikan akibat yang sebaliknya. Orang yang bersifat jelek dapat mendatangkan bahaya bagi orang yang berteman dengannya, dapat mendatangkan keburukan bagi orang yang bergaul bersamanya. Sungguh betapa banyak kaum yang hancur karena sebab keburukan-keburukan mereka, dan betapa banyak orang yang mengikuti sahabat-sahabat mereka menuju kehancuran, baik sadar ataupun tidak sadar. (Bahjatu Qulubil Abrar, 120)
Oleh karena itulah, sungguh di antara nikmat Allah yang paling besar bagi seorang hamba yang beriman adalah Allah memberinya taufiq berupa teman yang baik. Sebaliknya, di antara ujian bagi seorang hamba adalah Allah mengujinya dengan teman yang buruk. (Bahjah Qulubil Abrar, 120)
Berteman dengan orang shalih akan memperoleh ilmu yang bermanfaat, akhlak yang utama dan amal yang shalih. Adapun berteman dengan orang yang buruk akan mencegahnya dari hal itu semua.
Jangan Sampai Menyesal
Allah Ta’ala berfirman
وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَى يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا ( ) يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا ( ) لَقَدْ أَضَلَّنِي عَنِ الذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَاءَنِي وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْإِنْسَانِ خَذُولًا
“Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang dzalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan sifulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia.” (QS. Al Furqan: 27-29).
Sebagaimana yang sudah masyhur di kalangan ulama ahli tafsir, yang dimaksud dengan orang yang dzalim dalam ayat ini adalah ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, sedangkan si fulan yang telah menyesatkannya dari petunjuk Al Qur’an adalah Umayyah bin Khalaf atau saudaranya Ubay bin Khalaf. Akan tetapi secara umum, ayat ini juga berlaku bagi setiap orang yang dzalim yang telah memilih mengikuti shahabatnya untuk kembali kepada kekafiran setelah datang kepadanya hidayah Islam. Sampai akhirnya dia mati dalam keadaan kafir sebagaimana yang terjadi pada ‘Uqbah bin Abi Mu’ith.(Adhwa’ul Bayan, 6/45)
Begitulah Allah Ta’ala telah menjelaskan betapa besarnya pengaruh seorang teman dekat bagi seseorang, hingga seseorang dapat kembali kepada kekafiran setelah dia mendapatkan hidayah islam disebabkan pengaruh teman yang buruk. Oleh karena itulah sudah sepantasnya setiap dari kita waspada dari teman-teman yang mempunyai perangai buruk.
Penutup
Wahai saudariku, ingin ku kutipkan sedikit nashihat yang semoga bermanfaat untukku maupun untuk dirimu. Nashihat ini berasal dari seorang ulama bernama Ibnu Qudamah Al Maqdisiy:
“Ketahuilah, Sungguh tidaklah pantas seseorang menjadikan semua orang sebagai temannya. Akan tetapi sepantasnya dia memilih orang yang bisa dijadikan sebagai teman, baik dari segi sifatnya, perangainya, ataupun apa saja yang bisa menimbulkan keinginan untuk berteman dengannya. Sifat ataupun perangai tersebut hendaknya sesuai dengan manfaat yang dicari dari hubungan pertemanan. Ada orang yang berteman karena tujuan dunia, seperti karena ingin memanfaatkan harta, kedudukan ataupun hanya sekedar bersenang-senang bersama dan ngobrol bersama, akan tetapi hal ini bukanlah tujuan kita. Ada pula orang yang berteman untuk tujuan agama, dalam hal ini terdapat pula tujuan yang berbeda-beda.
Di antara mereka ada yang bertujuan dapat memanfaatkan ilmu dan amalnya, ada pula yang ingin mengambil manfaat dari hartanya, dengan tercukupinya kebutuhan ketika berada dalam kesempitan. Secara umum, kesimpulan orang yang bisa dijadikan sebagai teman hendaknya dia mempunyai lima kriteria berikut: Berakal (cerdas), berakhlak baik, tidak fasiq, bukan ahli bid’ah dan tidak rakus terhadap dunia.
Kecerdasan merupakan modal utama. Tidak ada kebaikan berteman dengan orang yang dungu, karena orang yang dungu terkadang dia ingin menolongmu tapi justru dia malah mencelakakanmu. Akhlak baik, hal ini juga sebuah keharusan. Karena terkadang orang yang cerdas jika ia sedang marah dan emosi dapat dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka tidaklah baik berteman dengan orang yang cerdas tapi tidak berakhlak. Sedangkan orang yang fasiq, dia tidaklah mempunyai rasa takut kepada Allah. Dan orang yang tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, kamu tidak akan selamat dari tipu dayanya, disamping dia juga tidak dapat dipercaya. Adapun ahli bid’ah, dikhawatirkan dia akan mempengaruhimu dengan jeleknya kebid’ahannya. (Mukhtashor Minhajul Qashidin, 2/ 36-37)
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat untukku dan untukmu saudariku…
Amiin …
Rujukan:
- Bahjatu Qulubil Abrar, syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy, Maktabah Al Imam Al Wadi’iy, Shan’aa
- Adhwa’ul Bayan, Muhammad Al Amin Asy-Syinqithi, Darul-Fikr lith-thoba’ah wan-nasyr wat-tauzi’, Beirut (Maktabah Asy-Syamilah)
- Mukhtashor minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al Maqdisiy. (Maktabah Asy-Syamilah)
No comments:
Post a Comment